Dimasa lalu ketika Jogja dikenal sebagai kota sepeda, selain sebagai kota budaya dan kota pelajar, dapat dibayangkan bagaimana sejuknya atmosfer kota Jogja nan tenang tanpa kebisingan kuda-kuda besi yang saling berkompetisi di jalanan. Kuda-kuda besi produk pasaran teknologi hampir merambah tiap sudut kota yang padat dan menciptakan fenomena saling bersaing di jalanan. Parahnya lagi
selain membuat kebisingan serta kemacetan di jalan, fenomena yang ironis adalah sering tak memberi kesempatan kepada pejalan kaki dan Onthel untuk sekedar lewat atau menyeberang. Padahal jika ditilik, pemakai jalan ini juga memiliki hak yang sama untuk menggunakan fasilitas jalan.
Banyak pihak terutama yang hanya cukup on foot atau by cycle harus mengelus dada dengan perlakuan para pengendara motor. Menunggu antrean panjang kuda-kuda besi galak yang selalu memenuhi badan jalan sering membuat penat sehingga tak jarang mereka nekat untuk lewat atau menyeberang diiringi dengan omelan klakson. Nelangsa memang ketika terkait dengan hak masing-masing pihak. Namun yang perlu ditilik disini adalah minimnya kesadaran sebagai pengguna kendaraan bermotor terhadap pemakai jalan yang lain sehingga penghargaan terhadap pemakai jalan yang hanya bermodal kaki atau Onthel sangat rendah.
Dengan kemajuan teknologi sekarang ini tak dapat dipungkiri kendaraan bermotor merupakan sarana utama mobilitas masyarakat daerah perkotaan. Namun ketika dihadapkan pada dampak buruk yang diakibatkan pada emisi gas buangan yang dihasilkan oleh kuda-kuda besi tersebut kita harus berpikir ulang sampai kapan udara kota Jogja penuh dengan karbon monoksida, timbal, sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan sejenisnya?
Kembali pada budaya Jogja zaman dahulu, ketika Onthel menjadi sarana transportasi yang murah meriah dan tak berpolusi. Onthel dulu menjadi bagian hidup masyarakat. Menyusuri jalanan kota Jogja dengan Onthel di pagi hari, mengakrabi segala peristiwa dan pemandangan tanpa takut berlomba dengan waktu..Kendaraan yang sederhana ini justru malah lebih akrab dengan lingkungan, tak bakal menangis karena melonjaknya BBM atau batuk-batuk dengan kepulan knalpot.
Namun sangat disayangkan, sekarang peminatnya hanya anak-anak sekolah dan sebagian kecil warga pinggiran yang masih melestarikan tradisi Ngonthelnya. Dan sekali lagi adalah sebuah pilihan sulit ketika Onthel sudah semakin tergerus zaman yang keberadaannya di daerah perkotaan tergencet dengan ganasnya mesin-mesin motor. Kalah bersaing. Miris rasanya membayangkan bagaimana perjuangan tenaga kaki vs tenaga mesin berlomba di jalanan. Pengorbanan itupun seringkali dibayar dengan hadiah asap knalpot dari kuda-kuda besi. Lagipula diruang-ruang publik seperti lahan parkir lebih mengutamakan penjagaan terhadap kendaraan bermotor, sedang Sang Onthel hanya kerap mendapat tempat sempit di sudut pelataran.
Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat dan pembuat kebijakan memiliki kepentingan masing-masing untuk berbuat di kota Jogja ini. Namun kesadaran untuk memiliki kota yang sehat tentunya menjadi idaman bagi warga kota Jogja sendiri. Masyarakat yang masih peduli mungkin akan tetap bertahan untuk melestarikan budaya Onthel. Lalu bagaimana dengan yang lain? Solusi terdekat yang paling mudah dijangkau masyarakat adalah menggugah kesadaran mereka untuk back to nature by cycle and on foot dengan rasa peka lingkungan tentunya.
Perlu waktu memang. Ssetidaknya, melandingkan kawasan pedestrian di Malioboro itu sebuah keniscayaan. Harapannya mampu memberi nafas baru dan merupakan upaya sungguh-sungguh menciptakan kota yang bersih dari pekat asap knalpot dan polusi udara serta suara. Yang pasti juga Onthel-onthel Jogja akan berjaya kembali baik yang tradisional atau modern, bebas berlomba dijalan tanpa harus bersaing dengan kuda-kuda besi berpolusi, bebas bercengkrama tanpa suara, dan tentunya bebas dari antrean menunggu. Hidup Onthel. Never ending.
Onthel : dalam artikel ini mewakili penggunaan kata sepeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar