Prelude
Euphoria terhadap makanan menjadi trend sendiri setahun terakhir di Indonesia, diawali dengan sebuah tayangan televisi tentang perjalanan kuliner indonesia di beberapa tempat sampai akhirnya berkembang menjadi perburuan tempat-tempat yang berasosiasi dengan surga makanan diberbagai pelosok. Hal ini
menjadi peluang besar bagi daerah-daerah yang sejak dulu memilili potensi makanan khas untuk lebih mempromosikan daerahnya sehingga pariwisata tak hanya sebatas mengunjungi tempat-tempat tertentu yang memiliki keistimewaan atau ragam budaya namun referensi pariwisata indonesia telah bertambah dengan adanya obyek wisata lain yang disebut wisata kuliner.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa hal yang merekatkan hati orang di seluruh penjuru dunia adalah makanan. Dari hal yang paling kecil sekalipun semisal berkunjung ke rumah orang, jamuan merupakan hal yang tidak luput dari etika bertamu. Disadari atau tidak tradisi ini telah berkembang menjadi semacam kearifan global yang tidak lekang oleh zaman. Dan pada kota-kota yang sedang beranjak dewasa ini, pergeseran nilai wisata kuliner telah berpengaruh positif terhadap perekonomian setempat.
Menyusuri jalanan kota tahu (Kadiri) di akhir pekan mementahkan segala rasa, rasanya miris melihat kenyataan di lapangan bahwa sebagian besar yang berdugem ria menghabiskan waktu adalah anak-anak kita yang berseragam putih biru ato abu-abu.
Takjub bukan maen, kalo selama ini terbiasa melihat pecinta dugem di kota gudeg adalah komunitas mahasiswa yang telah kehilangan keluguan atau kaum urban yang hedon, tapi disini para pelaku dugem adalah wajah-wajah polos yang berlagak dewasa dan masih sarat dengan keluguan. Childish. Tidak bisa dibohongi. Dunia kalian masih panjang nak..........
Heran bukan kepalang melihat anak2 yang menghabiskan waktu kongkow di jalanan,nongkronk didepan toko, dengan gaya punk, berkelompok (koyo liqo’at wae), yang lebih suka berdua ya JJS dewe boncengan dan lebih lucunya lagi (atau ini sudah semacam tradisi=kearifan lokal) (ini exess dari keberadaan panggon wisata kuliner) acara ngedate bocah-bocah cilik ini selalu berakhir di lesehan nasi goreng dan kawan-kawannya....(acara ngedate yang bikin kenyang...) .Dari hasil wawancara dengan ki joko brondonk A dan joko brondonk B, dua dari anggota trio Kwek-kwek, warung lesehan jalanan merupakan tempat favorit karena lebih menghargai kocek. Hal ini dibuktikan pula dengan beberapa kali pengamatan di lapangan. Potret generasi bangsa yang kian pilu...
Ternyata beda kutho beda budoyo. Neng Medhion di sudut-sudut kota fenomena seperti ini belum begitu terasa dibandingkan neng Kadiri. Apa barangkali komposisi jumlah anak usia sekolah masih jauh dibawah dibandingkan neng Kadiri. Tapi pengaruh budaya luar yang signifikan menurutku paling banyak menjadi biang keladi hedonisme. Pemicunya satu, pembangunan mall dan pusat hiburan yang penuh muatan kapitalisme, maka menjamurlah sub-sub pendukung lain semisal games, warles de-el-el. Ibarat ada gula ada semut seperti ceramah Prof.Ratman (Love u Sir), konsep tataruang yang dipake menegaskan bahwa suatu pembangunan yang menjadi pusat pertumbuhan akan memberi peluang pada munculnya pembangunan lain sebagai imbasnya (backwash or mutiple player effect yo??). dan salah satu buktinya adalah kota dimana kakiku berpijak ini.......
Euphoria terhadap makanan menjadi trend sendiri setahun terakhir di Indonesia, diawali dengan sebuah tayangan televisi tentang perjalanan kuliner indonesia di beberapa tempat sampai akhirnya berkembang menjadi perburuan tempat-tempat yang berasosiasi dengan surga makanan diberbagai pelosok. Hal ini
menjadi peluang besar bagi daerah-daerah yang sejak dulu memilili potensi makanan khas untuk lebih mempromosikan daerahnya sehingga pariwisata tak hanya sebatas mengunjungi tempat-tempat tertentu yang memiliki keistimewaan atau ragam budaya namun referensi pariwisata indonesia telah bertambah dengan adanya obyek wisata lain yang disebut wisata kuliner.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa hal yang merekatkan hati orang di seluruh penjuru dunia adalah makanan. Dari hal yang paling kecil sekalipun semisal berkunjung ke rumah orang, jamuan merupakan hal yang tidak luput dari etika bertamu. Disadari atau tidak tradisi ini telah berkembang menjadi semacam kearifan global yang tidak lekang oleh zaman. Dan pada kota-kota yang sedang beranjak dewasa ini, pergeseran nilai wisata kuliner telah berpengaruh positif terhadap perekonomian setempat.
Menyusuri jalanan kota tahu (Kadiri) di akhir pekan mementahkan segala rasa, rasanya miris melihat kenyataan di lapangan bahwa sebagian besar yang berdugem ria menghabiskan waktu adalah anak-anak kita yang berseragam putih biru ato abu-abu.
Takjub bukan maen, kalo selama ini terbiasa melihat pecinta dugem di kota gudeg adalah komunitas mahasiswa yang telah kehilangan keluguan atau kaum urban yang hedon, tapi disini para pelaku dugem adalah wajah-wajah polos yang berlagak dewasa dan masih sarat dengan keluguan. Childish. Tidak bisa dibohongi. Dunia kalian masih panjang nak..........
Heran bukan kepalang melihat anak2 yang menghabiskan waktu kongkow di jalanan,nongkronk didepan toko, dengan gaya punk, berkelompok (koyo liqo’at wae), yang lebih suka berdua ya JJS dewe boncengan dan lebih lucunya lagi (atau ini sudah semacam tradisi=kearifan lokal) (ini exess dari keberadaan panggon wisata kuliner) acara ngedate bocah-bocah cilik ini selalu berakhir di lesehan nasi goreng dan kawan-kawannya....(acara ngedate yang bikin kenyang...) .Dari hasil wawancara dengan ki joko brondonk A dan joko brondonk B, dua dari anggota trio Kwek-kwek, warung lesehan jalanan merupakan tempat favorit karena lebih menghargai kocek. Hal ini dibuktikan pula dengan beberapa kali pengamatan di lapangan. Potret generasi bangsa yang kian pilu...
Ternyata beda kutho beda budoyo. Neng Medhion di sudut-sudut kota fenomena seperti ini belum begitu terasa dibandingkan neng Kadiri. Apa barangkali komposisi jumlah anak usia sekolah masih jauh dibawah dibandingkan neng Kadiri. Tapi pengaruh budaya luar yang signifikan menurutku paling banyak menjadi biang keladi hedonisme. Pemicunya satu, pembangunan mall dan pusat hiburan yang penuh muatan kapitalisme, maka menjamurlah sub-sub pendukung lain semisal games, warles de-el-el. Ibarat ada gula ada semut seperti ceramah Prof.Ratman (Love u Sir), konsep tataruang yang dipake menegaskan bahwa suatu pembangunan yang menjadi pusat pertumbuhan akan memberi peluang pada munculnya pembangunan lain sebagai imbasnya (backwash or mutiple player effect yo??). dan salah satu buktinya adalah kota dimana kakiku berpijak ini.......
Jadi inget.. Kau pernah traktir aku unni seo-bess, nasi bakar nikmat deket kost.
BalasHapusBtw,eniwei busway.. Terlalu byk panggilan utk mu. Is it ok?
hehe, moso see, aku wis lali pernah traktir nasi bakar
BalasHapuswahhh seneng2 wae panggilanku jadi banyaak