01 Juni 2011

I GOT My TALENT


Saya ingat ketika pertama kali belajar berenang, di kolam yang penuh sesak dengan anak2 dan menggelikan ternyata dasar kolamnya licin karena lumut, hasilnya jelas, banyak tenggelamnya. Lain waktu mencoba berenang pantai yang berpasir putih dan bertingkat kedalamannya, tapi ternyata hanya mengambang karena diombang ambing ombak.
Masuk tingkat pertama,
ada ekskul berenang, maka demi memenuhi hasrat bermain air, kami sekelas selalu menyambut dengan antusias walau hampir semua anak sekelas hanya tergugu di pinggir kolam. Memalukan, dari 40 siswa hanya kurang dari 10 orang yang mampu membuat bibir guru penjas kami melengkung keatas dengan teknik berenang yang benar, sedangkan sisanya hanya bisa mempraktekkan gaya batu atau gaya dada nyeleneh.

Sepuluh tahun kemudian, akhirnya saya duduk ditepi kolam dengan satu tujuan: ingin bisa berenang. Saya jatuh hati dengan baliho besar yang terpampang di atas gelanggang renang itu. Bunyinya: IF YOU THINK YOU CAN, YOU CAN. Maka ketika terlalu gagap untuk mulai belajar mendorong kaki dan mengambil nafas di air, dengan wajah bodoh mengamati instruktur yang mengajari anak didiknya dan berusaha mengingat gerakannya. Dan setiap kali gagal, saya punya keberanian untuk memandang mantra di baliho besar itu dan mencoba lagi. Hasilnya gaya katak saya cukup lumayan dan tidak tenggelam.

Lain kisah, ketika ayah membeli keyboard di bangku SD, saya tak benar-benar berminat sampai beliau mengajari dasar kunci C dan G. Parahnya ketika di sekolah menerapkan teori-teori nada yang lebih relevan, memetik gitar saja saya tidak bisa, padahal kunci nada itu sangat mudah. Akhirnya satu lagu yang berhasil saya mainkan sampai sekarang hanya “ Sio Tantina mati dipanah raja nirwana” di kunci C dengan keyboard yang tertatih-tatih.
Hingga kini saya begitu kagum dengan musisi remaja semacam Gita Gutawa dan Kevin Apriliano yang mampu memaksimalkan otak kanan mereka hingga optimal mengomando jari-jari cekatan menari diatas piano. Orang Yahudi bilang pangkal kecerdasan emosi dan kognitif adalah pandai memainkan piano atau biola.

Setelah itu saya benar-benar berpikir keras tentang kemampuan saya. Disatu sisi saya berhasil menguasai satu teknik berenang tetapi disisi lain saya tak bisa menguasai teknik bermain titi nada. Apakah saya benar-benar tak punya kemampuan untuk bermain musik? Apakah saya memang tak punya bakat?

Lalu saya sampai pada pemahaman awal, bahwa kemampuan berenang itu merupakan intuisi, kemampuan dasar untuk bertahan hidup-Seperti halnya kemampuan bicara adalah nature(bawaan) namun kemampuan berbahasa adalah nurture(sesuatu yang dipelajari).
Begitu kompleksnya otak manusia untuk menghasilkan apa yang disebut sebagai bakat.

Beberapa orang percaya bakat seseorang diwariskan karena gen namun sebagian yang lain mempercayai bahwa bakat itu tak pernah ada tetapi lebih pada kemampuan otak yang terus menerus distimulus oleh lingkungan dan perilaku manusia itu sendiri untuk menghadirkan apa yang dinamakan “kemampuan”.

Apakah anda percaya gen mampu mewariskan bakat? Apakah kepiawaian seorang Kevin Apriliano adalah karena gen dari ayahnya yang komposer dan ibunya yang penyanyi? Tapi bandingkan dengan kejeniusan Thomas Edison. Apakah ia memiliki orangtua guru atau pandai besi yang minimal membuatnya tertarik menemukan sesuatu? Bahkan ayahnya sendiri menganggapnya bodoh karena keterbatasan fisiknya yang nyaris tuli dan membuat onar di hari pertama taman kanak-kanaknya.

Paul Lawrence dan Nohria Nittin menulis, secara alami setiap orang yang dilahirkan telah membawa empat buah dorongan (drive) yaitu : belajar (to learn), bertahan (to defend), mendapatkan sesuatu (to acquired) dan terikat (to bond). Dorongan ini tersimpan bagaikan progam komputer yang diinstal di dalam otak. Berkat dorongan yang dibawa sejak lahir itulah kita memiliki banyak potensi keterampilan yang dapat dipakai mengarahkan hidup kita. Dorongan-dorongan itu akan distimulus oleh peristiwa diluar tubuh dan di lingkungan kita kemudian menghasilkan hubungan tertentu melahirkan salah satu yang kita sebut bakat.
Misalnya dorongan untuk belajar (to learn). Manusia mengembangkan keingintahuan akan penjelasan suatu benda yang jatuh ke bawah. Berbekal eksplorasi itulah kemudian Newton menemukan teori gravitasi. Newton kemudian tak hanya menemukan satu teori namun berkembang sampai ia menjadi ilmuwan tersohor. Secara nyata lingkunganlah yang membentuk kemampuan Newton berpikir. Keingintahuan yang kemudian membentuk korelasi sesuatu itu kita minati dan kita kembangkan. Beginilah logika sederhananya,

1. Hubungan pertama yang bersifat pasif adalah anak-anak yang tumbuh menurut lingkungannya, misalnya anak yang suka musik karena lahir dalam keluarga pemusik
2. hubungan kedua yang bersifat evokatif adalah adanya bawaan anak-anak merupakan hasil respon pada orang lain. Misalnya sekolah-sekolah musik mencari bibit-bibit baru yang berbakat dalam hal musik
3. hubungan ketiga yang bersifat aktif adalah anak-anak yang mencari lingkungan yang mendukung bawaan mereka. Misalnya anak berbakat musik mencari kamp/komunitas musik (Taufik Paisak,2007;50)

maka kesimpulan awalnya, bahwa peran orangtua Gita dan Kevin lebih mudah dalam mencetak anak-anak mereka memiliki kemampuan yang sama dengan orang tuanya karena lingkungan yang terbentuk ada dalam hubungan yang pasif. Namun lain halnya dengan Edison yang harus jatuh bangun dulu menemukan dan mengasah bakat saintisnya sendiri bertahun-tahun sebelum akhirnya memainkan peran utama dalam penemuan abad 20. inilah yang disebut hubungan aktif.

Bagi para orangtua, menemukan bakat anak-anak mereka adalah wajib sehingga ketika dewasa mereka mudah mengaktualisasi diri dengan bakat yang dimilikinya, walau tidak menutup kemungkinan bakat ditemukan ketika mereka telah dewasa. Namun peran orangtua sangat penting untuk mengarahkan anak-anak mereka menyukai, mencoba dan berminat terhadap sesuatu sehingga anak akan terbiasa dengan sikap keingintahuan dan ekplorasi sejak kecil.

Hal ini juga berlaku bagi para guru, untuk mengembangkan potensi anak didik lebih baik. Menelisik bakat, melihat keunggulan dan kelemahan akan membuka peluang mengembangkan kreativitas dan kemampuan analisis anak didik kita. Karena dari inilah muncul Bakat yang nantinya menjadi sumberdaya atau kompetensi mereka dalam menghadapi dunia.

Secara personal, otak manusia diberi blueprint berupa (drive) dorongan untuk mengarahkan hidup kita, belajar untuk tau sejauh mana kemampuan kita dan potensi-potensi yang kita miliki. Belajar tidak mengenal waktu, umur dan tempat.
Saya yakin semua punya kemampuan berenang hanya kita harus belajar tekniknya yang benar. Semua bisa bermain musik Namun untuk menjadi pianis hanya perlu kerja keras,latihan berulang-ulang dan berada di lingkungan yang mendukung. Jangan menyerah ketika kita belum menemukan bakat kita sekarang. Barangkali dengan minat, hobi dan interest terhadap sesuatu yang dilakukan saat ini, kita akan menemukan bakat suatu hari nanti. So teruslah mencoba hal-hal baru.


resource: darimana-mana, tapi kebanyakan dari om Taufik Paisak
manusia itu obyek penelitian yang paling prestisius

2 komentar:

  1. YOU CAN IF YOU THINK YOU CAN . . .. .
    EMMMM . . . . Q PNYA BUKUNYA SANGAT MEMBANTU SAAT Q LAGI MALES ATAU LG DOWN GT.

    BalasHapus
  2. gud gud de. punya ebooknya ga? share dunk

    BalasHapus