.................................
Adin memandangi Nara, adik semata wayangnya tergolek lemah di ranjang pesakitan. Ada rasa resah dihatinya yang tak mampu ia tahan. Lima hari lalu Nara koma setelah pingsan sehari karena kecelakaan motor yang dialaminya. Dokter memvonis pendarahan dibagian otak akibat benturan keras. Setelah operasi hanya ada harapan untuk menunggunya bangun. Tapi Tuhan mengujinya dengan cara seperti ini. Selama lima malam ini tak henti-hentinya ia membaca qur’an disamping adiknya berharap Nara mendengar dan keajaiban kecil terjadi. Ia sama sekali tak lelah berjaga. Adin tak tega membiarkan orang lain menjaga Nara. Mama, wanita itu baru bisa datang sehari lalu setelah menghilang berbulan-bulan di belahan dunia lain. Papa, orang tua itu tak kuasa Adin harapkan dengan amanahnya bersama keluarga barunya di Makassar. Adin sepenuhnya bersabar dengan kehidupannya dengan Nara serta Mbok Ibah ibu asuh mereka selama 8 tahun terakhir. Jika saja dimasa terpuruk hidupnya tak bersentuhan dengan islam, mungkin sejak itu ia membawa Nara pergi dan membenci kedua orangtuanya.
“ Bangunlah… Dik..’ pohonnya memelas
……………...
“Kenapa Ra? Ada yang ingin kamu sampaikan? Teman-teman menanyakanmu. Kemana saja Nara selama ini? Empat bulan!!! Vakum??” mba Rasti tutornya menginterogasi. Nara diam.
“Nara bukan manusia sempurna mba! Saya jenuh dengan rutinitas yang tak lagi sarat makna..”
“Bagaimana dengan muwashofatmu? Amanah, Adik adikmu ?”
Nara menahan nafas.
“Semua orang menganggap saya sempurna sehingga menuntut banyak hal dari saya, lebih dari yang saya mampu!”
“Saya butuh waktu Mba!”
Sunyi……itulah yang kurasakan saat ini. Ketika melihat slide di cermin itu, hatiku membuncah……mengingat apa-apa yang pernah kulakukan, meninggalkan semua dan kehilangan semua. Rutinitas, teman.. Hanya karena satu alasan. Kecewa, dengan orang-orang yang pernah membersamai dalam langkah. Tak ada lagi kebermaknaan disana. Sayangnya aku tak cukup tegar untuk bertahan. Rapuh didalam.
Waktu itu aku berharap ada tangan yang menarik menolong ketika aku terperosok, membangkitkanku ketika terpuruk. Tapi ternyata tak ada yang peduli. Kak Adin sekalipun, ia terlalu percaya bahwa gadis kecilnya adalah manusia yang paling tegar sedunia. Tak ada yang tau seberapa rapuh dirinya bergulat dengan rasa sendirian. Tapi ternyata ada yang maha melihat dan sekarang memberikan rekaman ulang episode pedih itu dihadapannya.
Hhhh…. Ada apa ini… bioskopkah? Dengan lakon cerita kehidupanku dan tokoh utamanya adalah aku.tetapi kenapa tak ada siapa-siapa? Yang menontonnyapun hanya aku. Tiba-tiba saja slide dalam dalam cermin itu berputar, cermin-cermin yang lain juga bergasing. Lantai inipun berpusar seperti air, menelanku, aku tersedot ke dalamnya, terhempas melayang dalam dimensi waktu tak terperi……….
Dan terjatuh! Tuhanku….. sakit.
Lama aku terpekur memandang sekeliling. Tempat ini tak asing. Aku mencoba berdiri dan menggapai sandaran. Dihadapanku ada seorang gadis kecil dan kakaknya berlarian , diseberang mereka seorang bapak muda menunggu untuk membantu membangun istana pasir. Sang ayah hanya mengamati mereka bertengkar sambil tersenyum. Kemudian muncul seorang wanita dengan membawa sebaskom penuh makanan dan buah melon berbaur. Kedua bocah tadi menghambur senang dan tertawa. Ahhh ada kebahagiaan disana……..tetapi dengan cepat romansa tawa itu lenyap berbaur dengan meja-meja hijau, kursi pesakitan yag angkuh dan patung-patung manusia yang sombong. Dan ketukan palu keputusan itu telah merengut episode indah serta kebahagiaan dalam kebisuan abstrak yang panjang. Kak Adin memelukku erat yang telah sunyi dalam keheningan.
“Menangislah Ra. Menangislah” ia mengguncangku dengan sangat. Dan sejak itulah aku mulai berteman kesunyian, bercakap dengan bisu dan merindui kesendirian, tercebur dalam kekosongan. Kebahagiaan seperti dulu hanya sebuah mimpi belaka. Rengkuhan cinta Papa dan Mama sungguh tak terjangkau. Sepi. Hingga cahaya itu menghampiri di 17 tahun hidupku. Kak Adin juga namun terlambat untuk tau bahwa adik kecilnya terlalu rapuh untuk berdiri sendiri saat ia berkhalwat dengan sujud-sujud panjang dan orasi panggungnya di kampus. Sedang Nara, ya…Nara mencoba tegar dan tersenyum ketika mengerti hidup sesungguhnya. Selalu berharap tak pernah sendiri sampai pada saat itu….
“ Tak ada yang berubah kecuali Sukma masih tetap saudara seiman Nara!”kataku parau pada Sukma
“Maaf,… Ra, tapi ini sebuah pilihan. Tak ada suatu kesepakatan kecuali itu dalam ba’iat. Perbedaan itu hanya cukup membuka pada kekafiran.”
Terpaku aku tak berdaya. Mata ini basah. Untuk kali pertama itulah sungguh aku merasakan kekosongan setelah pencerahan itu datang. Kehilangan teman yang dulu membagi ketegaran bersama dan sekarang melenggang memutuskan persahabatan atas nama prinsip. Baiat atau kafir. hah, Luar biasa.
Sampai disinikah? Tidak. Aku tertawa pedih. Nara yang kuat masih memiliki banyak hal. Ahh sentimentil. Aku baru menyadari kuasaNya yang mampu membolak-balikkan hati tak perduli sebaik apapun manusia. Kubayangkan bagaimana jika itu terjadi padaku.
Dan ujian itu ternyata tak datang sendiri tetapi bertubi-tubi mementahkan bagian-bagian harapan bertarung dengan kenyataan dan tak tergapai dalam bilik hati. Kecewa pada teman-temannya, benci pada kebekuan jiwanya, marah, rasa bersalah dan kehilangan banyak hal. Ia seperti kerang dengan cangkang yang rapuh. Rasa-rasa itu mencabik-cabiknya dan melemparkannya dalam jurang yang dalam..Gulita .
Setiap ia terpekur, origamilah satu-satunya pelampiasannya. Berlari menuju lapangan dan menebarkan potongan warna-warni kecilnya ke langit berharap beban-beban itu hilang terbang terbawa angin, tersampaikan. Sampai pada puncak ketika ia memutuskan berhenti dari langkahnya. Tidak, bukan berhenti. Tapi ia butuh waktu panjang untuk merasai lebih dalam dan merenung diri. Menghilang dari hadapan orang-orang, meninggalkan amanah, meninggalkan kampus dan berkutat dengan buku-buku kuliah yang tebal. Selama pelarian itulah tak mudah baginya untuk menerima hal sebaik apapun. Dan setengah tahun rasanya telah cukup memberinya energi baru walau harus mengorbankan banyak hal, cukup untuk membuatnya rindu akan rutinitas yang dulu menyita waktu-waktu senggangnya, rindu akan kebersamaan dengan anak-anak, rindu akan pesan-pesan penyemangat yang selalu ia kirim untuk teman-temannya, rindu akan carut marut acara dan pertengkaran dengan para stafnya, rindu bercerita pada Kak Adin, dan Mba Rasti. Penyesalan itu selalu datang dibelakang. Ia masih menyimpan beberapa potongan origaminya. Ia berjanji untuk segera mengirimkannya pada angin……….
Aku masih berdiri diruang ini mengakhiri satu slide lagi. Dada ini terasa sesak, namun sungguh hatiku merasa ringan. Suara itu mengalun lagi
Dialah yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka(yang telah ada). Dan kepunyaan Allohlah tentara langit dan bumi dan adalah alloh maha mengetahui lagi maha bijaksana (QS. Al Fath :4)
Aku ingin kembali. Tuhanku……ingin kembali!! Kembali pada sesuatu yang pernah membuatku merasa berarti, sesuatu yang membuatku menggebu-gebu, membuatku selalu ingin memberi. Sungguh ingin kembali untuk memperbaiki semuanya. Masih adakah kesempatan untuk memulainya dari awal. Kembali ketitik nol. Dengan tanpa apapun, seperti ketika pertama kali mendapatkannya.
Aku tersedu. Masih adakah waktu mengulangnya lagi? Akan kukejar. Sungguh !!
Cermin-cermin itu tiba-tiba menghilang. Semua slide itu lenyap dan yang ada hanya ruang kosong…. Atrium besar dengan langit-langit yang tinggi dan tiang tiang yang kokoh. Sunyi. Podium itupun lenyap, Al-qur’an itupun hilang dan suara-suara merdupun tak terdengar. Semua gulita. Aku menangis.
Dua minggu dalam catatan Adin,
Aku menemukan catatanmu Ra. Keajaiban terjadi. Aku tak mengerti dengan permintaan maafmu padaku, pada Mama, Papa dan terutama pada teman-temanmu. Dan aku tak menyangka senyum itu adalah senyum terakhir yang kulihat. Aku memang kakak yang bodoh. Jika merengkuhmu dari awal mungkin kau tak pernah merasa sendirian. Manusia memang tak sempurna Ra. selalu penyesalan itu mengiringi di akhir. Perjalananmu selama ini semoga tak sia-sia adikku. Lihat Ra!! Potongan-potongan origamimu terbang! terkirim oleh angin. Aku membantumu menyampaikannya, kerinduanmu pada semua, orang-orang yang selalu menyertaimu, kerinduanmu untuk kembali… hingga truk barang itu menerjang, menghalangimu untuk mengucapkannya pada kami. Kami menyayangimu Nara!
MILESTONE (Part 1)
wah, keren diksinya, jempol deh buat cerpennya, sekali-sekali mampir jg ya mba di blog saya
BalasHapuswaah,maturnuwun nee supportnya..ok..ok..pasti saya jalan-jalan ke blognya
BalasHapus