15 November 2010

Sangiran : Ironi Pengelolaan Situs Prehistory


Potongan fosil-fosil itu teronggok diam di museum Sangiran bagian dari situs sejarah dunia yang dilindungi undang-undang, ditempat lain, di kawasan penggalian masih terpendam beribu-ribu fosil lainnya, menunggu kesempatan untuk ditemukan. Namun seperti halnya situs-situs purbakala di Indonesia, penghargaan terhadap keberadaan warisan dunia belum menjadi prioritas penting bagi pemerintah. Upaya pelestarian
dan pemeliharaan selalu terkendala masalah dana dan system. Bukan Indonesia namanya jika birokrasi tak berbelit-belit. Barangkali ini juga merupakan warisan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan.

Ketidakberesan sistem dan ketidakseriusan pemerintah tercermin dari minimnya alokasi anggaran rehabilitasi. Lihat saja kondisi museum-museum kita di lapangan yang tidak menunjukkan profesionalitas.
Manajemen pengelolaan tak mampu menjaring publik untuk lebih menghargai museum sebagai harta negara, warisan budaya yang menimbulkan sedikit rasa kebangsaan. Media promosi yang informatif belum begitu menyentuh ranah publik untuk memperkenalkan situs budaya, padahal museum merupakan gudang ilmu pertama mengetahui sejarah kehidupan dan media pendidikan.

Sama halnya dengan situs-situs sejarah lain, situs Sangiran menorehkan sejarah panjang tentang asal-usul kehidupan karena fosil-fosil yang ditemukan memberi penjelasan kehidupan zaman prasejarah dengan teori manusia purba semacam homo sapiens dan beberapa fosil binatang seperti sapi,kuda nil dan gajah purba. Namun namanya tidak seterkenal musium fatahillah di jakarta atau monumen jogja kembali. Letaknya yang termasuk kawasan ’pedalaman’ melukiskan cerita tersendiri tentang komunitas masyarakat yang hidup dalam situs sejarah namun tak sedikitpun tersentuh oleh hasil kebijakan pemerintah dalam upaya pelestariaan. Paling tidak cipratan keuntungan dari penggalian fosil mampu memberi mereka jaminan kehidupan yang lebih baik, namun kenyataannya jauh dari harapan. 


Para ’relawan’ penggali fosil adalah masyarakat desa setempat yang sebagian besar tidak tamat mengenyam pendidikan namun memiliki intuisi luar biasa mencari dan mengenali wilayah yang dianggap memiliki kuburan fosil. Namun sangat disayangkan peran pemerintah setempat atau instansi yang berwenang luput memberi perhatian mengenai prosedur penggalian dan insentif yang selayaknya diterima masyarakat.
Prosedur penggalian yang sangat seadanya bahkan cenderung ceroboh merupakan bukti kelalaian bangsa kita menyelamatkan situs budaya, sekaligus menganggap remeh keberadaan fosil-fosil tersebut. Bagi mereka keberadaan fosil sama dengan jumlah rupiah yang akan mereka terima. Tidak peduli apakah fosil tesebut rusak karena prosedur yang asal-asalan. Yang lebih memilukan lagi adalah penghargaan bagi para penggali fosil oleh pihak setempat yang menghargai hasil temuan fosil dengan jumlah rupiah yang jauh dibawah standar. Untuk fosil kuda nil yang pernah ditemukan oleh seorang penggali misalnya hanya dihargai sebesar Rp.150 rb atau sebuah gading gajah yang hanya dihargai Rp.50 rb. Lebih lagi setiap penggalian yang berada dalam kawasan situs budaya harus diserahkan pada museum, namun penghargaan yang diterima sangat tidak sebanding dengan kerja keras mereka. 


Inilah kemudian yang menyebabkan aksi penyelundupan. Demi mendapat keuntungan yang lebih banyak, mereka terkadang menyelundupkan fosil untuk kemudian dijual di pasaran dengan harga yang lebih tinggi. untuk pasar luar negeri bisa sampai ratusan juta. Aksi brutal ini sering lepas dari pengawasan, lebih lagi pihak museum atau instansi yang berwenang juga mengambil langkah kongkalikong untuk kepentingan pribadi. 


Salah seorang penggali mengakui kolusi tersebut dengan beberapa orang dalam. Namun mereka hanyalah wong cilik yang hanya manut perintah penguasa. Dan seperti yang sudah-sudah keuntungan yang diperolehpun tak dapat merubah nasib keluarga. Sikap nrimo ini yang khas dimiliki masyarakat yang priyayi ini disatu sisi merupakan kultur namun disisi lain tetap tak bisa dipakai untuk menentukan standar kesejahteraan ekonomi. Artinya bahwa ketika komunitas masyarakat di suatu wilayah tak mampu mengelola potensi sumberdaya alam padahal keberadaan SDA itu dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

1 komentar: