13 Oktober 2011

MULTIPLE INTELLIGENCE (Part 1)


Redefinisi kecerdasan
Setiap kali diminta menilai siapa yang lebih cerdas: Bill Gates, JK. Rowling, Oprah winfrey atau Habibi? Banyak yang kebingungan menjawabnya. Kecerdasan manusia dan kebutuhan untuk mengukurnya dengan berbagai instrumen dan indikator tiba-tiba menjadi hal yang penting terutama ketika kecerdasan dihubungkan dengan syarat-syarat untuk mencapai kesuksesan hidup.
Mengapa harus dimulai dengan makna kecerdasan?
Pemahaman makna kecerdasan merupakan awal dari aplikasi banyak hal yang terkait dalam diri manusia terutama dalam dunia pendidikan. Kesepakatan atas paradigma dan makna tentang kecerdasan selanjutnya dapat menjadi awal penyusunan dan aplikasi sebuah sistem pendidikan.
Pembicaraan mengenai makna kecerdasan sangatlah luas. Teori kecerdasan terus berkembang mulai
dari Plato, Aristoteles, Darwin, Alfred Binet, Stanberg, Piaget sampai Howard Gardner. Perkembangan yang pesat ini mengerucut pada pola yang sama yaitu makna kecerdasan banyak ditentukan oleh faktor situasi dan kondisi( konteks) yang terjadi pada saat teori tersebut muncul. Pada akhirnya makna kecerdasan sangatlah bergantung pada banyaknya kepentingan eksternal dari hakikat kecerdasan itu sendiri. Kepentingan eksternal tersebut meliputi kepentingan politis, eugenic(keturunan), keunggulan ras dan banyak lagi.
Teori kecerdasan mengalamipuncak perubahan paradigma pada tahun 1983 saat Howard Gardner, pemimpin Project Zero, Harvard University mengumumkan perubahan makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya. Teori Multiple Inteliigence yang belakangan ini banyak diikuti oleh psikolog dunia yang berpikiran maju mulai menyita perhatian masyarakat. Betapa tidak, multiple intelleigence yang awalnya adalah wilayah psikologi ternyata berkembang sampai wilayah edukasi bahkan telah merambah dunia professional di perusahaan-perusahaan besar.
Mengapa Gardner dengan Multiple Intelligence-nya menyita perhatian masyarakat? Setidaknya ada tiga paradigma mendasar yang diubah Gardner.

(1) Kecerdasan tidak dibatasi tes formal
Kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam achievement test (tes formal), sebab setelah diteliti ternyata kecerdasan seseorang itu selalu berkembang (dinamis)tidak statis. Tes yang dilakukan untuk menilai kecerdasan seseorang praktis hanya kecerdasan pada saat itu tidak untuk satu bulan lagi, apalagi 10 tahun lagi. Menurut Gardner, kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang. Padahal kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang.

Pada awal 1970an, tak sedikit ahli psikologi dunia yang berpendapat bahwa tes IQ yang banyak diterapkan oleh dunia pendidikan itu tidak valid. Gardner menulis tentang konsep Multiple Intelligence dalam bukunya Frame of Mind yang diterbitkan pada 1983. Buku ini dipublikasikan dengan tujuan memberikan kritik yang mendalam tentang ketidakvalidan tes IQ. Buku ini berhasil memberi kekuatan dan inspirasi bagi psikolog dunia untuk introspeksi diri dan kembali merenungkan makna kecerdasan manusia.

Alfred Binet, pembuat tes IQ adalah seorang psikolog yang professional tetapi ia tak mampu menolak permintaan penguasa dan birokrat yang tidak profesional untuk menghubungkan kecerdasan seseorang dengan eugenic(faktor keturunan). Permintaan ini dilatarbelakangi oleh fakta sejarah yang terjadi pada tahun 1900an di Prancis dan negara Eropa lainnya bahwa peran kaum buruh dalam konstelasi politik domestik meningkat tajam.

Kaum buruh lantang bicara di parlemen tentang hak-haknya sebagai warga Negara. Mereka berpendapat bahwa wakil mereka harus ada di parlemen sebagai suara rakyat. Penguasa dan para bangsawan pada saat itu khawatir jika kekuasaan yang telah mereka nikmati selama bertahun-tahun akan direbut oleh kaum buruh. Padahal awalnya kaum buruh adalah bawahan, bahkan menjadi budak penguasa. Apalagi pengaruh pemikiran dan propaganda dari tokoh-tokoh buruh saat itu, Mussolini di Italia dan Karl Max di Jerman memberi semangat kaum buruh untuk memperjuangkan eksistensinya di kancah politik.

Jika diteliti secara mendalam, tes IQ yang diciptakan Binet mengandung konsep eugenic (keturunan). Sebenarnya hasil tes ini ingin menghubungkan faktor keturunan dengan faktor kecerdasan. Argumentasi yang ingin dikembangkan pada saat itu adalah penguasa atau bangsawan pasti memiliki keturunan anak-anak yang cerdas sebab mereka adalah kelompok masyarakat yang cerdas. Sebaliknya kelopmpok buruh yang notabene pekerja kasar adalah mereka yang tidak cerdas, dan oleh karena itu pasti akan melahirkan keturunan yang bodoh. Hal yang berbahaya bagi sebuah Negara jika dipimpin oleh generasi yang bodoh dan tidak cerdas.

Pengelompokan hasil tes IQ menjadi kelompok angka yang statis menunjukkan kenyataan tersebut. Sehingga secara praktis hasil tes IQ anak-anak masyarakat buruh pada saat itu berada pada range angka IQ yang rendah.Dalam bukunya yang terkenal, Smart Baby, Clever Child, Valentine Dimitriev Ph.D mengatakan ada dua faktor dalam perkembangan otak manusia yang mnejadikan beberapa orang lebih pandai daripada orang lain. Faktor itu adalah keturunan dan lingkungan. Tidak banyak yang bisa dilakukan orangtua untuk mengubah warisan gen seorang bayi tetapi sangat banyak yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan faktor lingkungan guna meningkatkan potensi perkembangan seorang anak.

Otak tumbuh sebagai hasil dari informasi yang diterima, disimpan dan diproses. Dengan kata lain otak tumbuh melalui proses yang disebut belajar. Lebih jauh Dimitriev mengatakan bahwa dalam banyak kasus, anak-anak yang berpotensi cemerlang tidak meraih apa yang mungkin dicita-citakannya. Otak mereka gagal tumbuh karena kondisi kehidupan yang miskin. Kemiskinan, kekurangan gizi, orangtua yang kurang peduli sebagaimana juga kurangnya rangsangan dan pengalaman utnuk mendidik turut menyumbang pada penundaan perkembangan kondisi mental.

Sekarang kita kembali pada kritik terhadap tes IQ yang dikembangkan Binet. Hal lain yang dikritisi oleh para psikolog modern adalah metode Binet dalam menghitung angka IQ. IQ adalah usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis dan dikali 100. Jadi jika usia mental seseorang itu sama dengan usia kronologis maka IQ orang itu adalah 100. Jika dibuat grafik dan dibandingkan dengan hasil capaian IQ orang lain maka akan dihasilkan angka IQ dalam range angka: anak bodoh, anak normal, anak cerdas, dan anak genius. Metode inilah yang menimbulkan perdebatan para ahli.
Selain Gardner, Daniel Coleman pendiri Collaboration for Social and Emotional Learning di Yale University Child Study Center menyatakan bahwa sangat naïf jika kecerdasan seseorang lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor yang melibatkan kecerdasan diri, disiplin, empati dan kesemuanya dikenal sebagai kecerdasan emosional.

Prof. Robert Sternberg dari Yale University mengatakan sangat terbatas apabila kecerdasan seseorang harus ditentukan oleh angka IQ. Hal ini merupakan reduksi dan penyederhanaan makna yang sangat sempit untuk sebuah esensi luas yang bernama kecerdasan. Bagaimana dengan kemampuan untuk menganalisis kreativitas dan kemampuan praktis seseorang? Angka-angka IQ tidak mampu menjawab semua hal tersebut.

Dinukil dari buku Sekolahnya Manusia, Munif Chatib

1 komentar: