Tak jauh beda dengan tradisi imlek masyarakat Cina,
angpau kini telah merasuk dalam budaya masyarakat kita. Nilai budaya
dari angpau bisa dikatakan lebih dari sekedar budaya, bahkan angpau bisa
berarti identitas, nilai etnik dan sedikit prestise di kalangan
masyarakat. Jika angpau bernilai ekonomis,
siapa yang beruntung? Mungkin orang-orang yang ‘miskin’ atau kere, para lajang yang belum punya penghasilan atau pengantin baru??
siapa yang beruntung? Mungkin orang-orang yang ‘miskin’ atau kere, para lajang yang belum punya penghasilan atau pengantin baru??
Yang menggelitik rasa ingin tau saya akhir-akhir ini adalah tradisi angpau di masyakarat kita yang tercermin sekali pada musim-musim kawin, pesta-pesta pernikahan digelar, menunggu bulan baik atau tidak baik, Dan pasti,
angpau menjadi bagian penting dari sebuah pesta. Kenapa penting?
karena ada sebuah pergeseran makna dari angpau yang awalnya sebagai
ucapan sederhana untuk ‘turut berbahagia’ menjadi sebuah beban
kewajiban.
Tak
tau siapa yang memulai, melihat betapa lucunya beberapa kartu undangan
selalu menyertakan gambar ‘kendi’ dibawah nama mempelai. Bahasa halusnya
adalah;kami hanya menerima sumbangan. Apa yang salah?
Secara etika sah-sah saja orang berpikir memilih cara mudah
membahagiakan para mempelai dari budaya kado menjadi budaya sumbangan
dana. Tapi ada pergeseran makna didalamnya ketika bentuk sumbangan tadi
menjadi masalah bagi handai taulan yang berniat pergi kondangan.
Misalnya, ‘saya kudu nyumbang berapa ya biar ga malu-maluin?’ “
’sumbangan minimal 10 rb, ikhlas, 50 rb semi ikhlas, 100 rb?’
‘dulu waktu nikahan pak A nyumbang segini, sekarang gantian saya yang punya gawe kudunya disumbang segini’..
‘karena dulu dia nyumbang ke saya segini, jadi saya akan nyumbang dia segitu.’
Atau ‘wah saya statusnya pejabat kudu nyumbang berapa ni, ga enak kalo nyumbang sedikit.’
Lucu memang melihat potret masyarakat kita,
sumbangan angpau di acara pernikahan bisa jadi menentukan status orang.
Yang menyumbang banyak tentu statusnya lebih daripada yang memberi
angpau sedikit. Manusia kita lebih suka menilai dari total rupaih yang
kita keluarkan. Sedikit banyak karena gengsi biar ga malu-maluin. Saya
tak habis pikir, betapa susahnya sebuah keluarga secara ekonomi, bahkan
membeli beras saja ngalor ngidul cari pinjaman, giliran diundang ke
acara pernikahan, ia menjadi sangat royal sekaligus juga pusing, berapapun akan diusahakan, Cuma satu, demi nama baik, status dan kelipatan yang akan ia dapatkan nanti jika membuat
acara serupa untuk anaknya. Bahkan, yang lebih miris, buku tamu yang
seyogyanya untuk dokumentasi itu sekarang lebih fungsional jadi buku
wajib absensi untuk mencocokkan jumlah angpau dengan kehadiran mereka.“ lho, dia nyumbang segini dengan harapan besok saya juga ngembaliin duit dia minimal segitu.”
Pesta pernikahan sudah menjadi lahan bisnis
potensial untuk mengeruk nilai rupiah dari para tamu undangan. Jadi
masyarakat ‘ kita berlomba-lomba membuat pesta yang ‘wah’, jumlah tamu
undangan yang ‘wah’ pula dengan harapan bisa mengembalikan
modal pesta tersebut. Bahkan seorang kawan berkelakar, pergi kondangan
ternyata lebih mahal daripada nonton pilem di bioskop hehe. Lebih
tepatnya, hanya untuk melihat pengantin saja kita harus bayar.
Lha terus Siapa yang salah? Sangat-sangat
disesalkan ketika budaya angpau tak lagi memiliki nilai kekeluargaan dan
nilai sahaja tapi lebih bersifat ekonomi kapitalis. Seolah segala
sesuatunya ditentukan dengan uang dan uang. Manusia kita menjadi lebih
hedonis. Sulit menilai apakah angpau mereka adalah sebentuk kasih sayang
atau tuntutan masyarakat sakit jiwa yang secara tak sengaja memberi
label ‘halal’ dari praktek sumbangan acara kondangan. Dan rasanya
menyesal tak mampu membagi dan menerapkan idealisme bagi beberapa pihak bahwa, harapan besar seorang mengundang seorang
lainnya adalah doa restu. itu sudah lebih dari cukup, itu sudah luar
biasa, suatu silaturahim terikat disitu, bukan karena angpau atau
kendi-kendi yang dijejerkan di pintu masuk, tapi karena sebentuk harapan
tulus untuk kebahagiaan para pengantin.
Mo Ngado Apa ya?
Mo Ngado Apa ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar