23 Mei 2012

Jangan Lupa Angpau Mantennya!


Tak jauh beda dengan tradisi imlek masyarakat Cina, angpau kini telah merasuk dalam budaya masyarakat kita. Nilai budaya dari angpau bisa dikatakan lebih dari sekedar budaya, bahkan angpau bisa berarti identitas, nilai etnik dan sedikit prestise di kalangan masyarakat. Jika angpau bernilai ekonomis,
siapa yang beruntung? Mungkin orang-orang yang ‘miskin’ atau kere, para lajang yang belum punya penghasilan atau pengantin baru??
Yang menggelitik rasa ingin tau saya akhir-akhir ini adalah tradisi angpau di masyakarat kita yang tercermin sekali pada musim-musim kawin, pesta-pesta pernikahan digelar, menunggu bulan baik atau tidak baik, Dan pasti, angpau menjadi bagian penting dari sebuah pesta. Kenapa penting?  karena ada sebuah pergeseran makna dari angpau yang awalnya sebagai ucapan sederhana untuk ‘turut berbahagia’ menjadi sebuah beban kewajiban.

Tak tau siapa yang memulai, melihat betapa lucunya beberapa kartu undangan selalu menyertakan gambar ‘kendi’ dibawah nama mempelai. Bahasa halusnya adalah;kami hanya menerima sumbangan. Apa yang salah? Secara etika sah-sah saja orang berpikir memilih cara mudah membahagiakan para mempelai dari budaya kado menjadi budaya sumbangan dana. Tapi ada pergeseran makna didalamnya ketika bentuk sumbangan tadi menjadi masalah bagi handai taulan yang berniat pergi kondangan. Misalnya, ‘saya kudu nyumbang berapa ya biar ga malu-maluin?’ “
’sumbangan minimal 10 rb, ikhlas, 50 rb semi ikhlas, 100 rb?’
dulu waktu nikahan pak A nyumbang segini, sekarang gantian saya yang punya gawe kudunya disumbang segini’..
‘karena dulu dia nyumbang ke saya segini, jadi saya akan nyumbang dia segitu.’
Atau ‘wah saya statusnya pejabat kudu nyumbang berapa ni, ga enak kalo nyumbang sedikit.’
Lucu memang melihat potret masyarakat kita, sumbangan angpau di acara pernikahan bisa jadi menentukan status orang. Yang menyumbang banyak tentu statusnya lebih daripada yang memberi angpau sedikit. Manusia kita lebih suka menilai dari total rupaih yang kita keluarkan. Sedikit banyak karena gengsi biar ga malu-maluin. Saya tak habis pikir, betapa susahnya sebuah keluarga secara ekonomi, bahkan membeli beras saja ngalor ngidul cari pinjaman, giliran diundang ke acara pernikahan, ia menjadi sangat royal sekaligus juga pusing, berapapun akan diusahakan, Cuma satu, demi nama baik, status dan kelipatan yang akan ia dapatkan nanti jika membuat acara serupa untuk anaknya. Bahkan, yang lebih miris, buku tamu yang seyogyanya untuk dokumentasi itu sekarang lebih fungsional jadi buku wajib absensi  untuk mencocokkan jumlah angpau dengan kehadiran mereka.“ lho, dia nyumbang segini dengan harapan besok  saya juga ngembaliin duit dia minimal segitu.”
Pesta pernikahan sudah menjadi lahan bisnis potensial untuk mengeruk nilai rupiah dari para tamu undangan. Jadi masyarakat ‘ kita berlomba-lomba membuat pesta yang ‘wah’, jumlah tamu undangan yang ‘wah’ pula dengan harapan bisa mengembalikan modal pesta tersebut. Bahkan seorang kawan berkelakar, pergi kondangan ternyata lebih mahal daripada nonton pilem di bioskop hehe. Lebih tepatnya, hanya untuk melihat pengantin saja kita harus bayar.
Lha terus Siapa yang salah? Sangat-sangat disesalkan ketika budaya angpau tak lagi memiliki nilai kekeluargaan dan nilai sahaja tapi lebih bersifat ekonomi kapitalis. Seolah segala sesuatunya ditentukan dengan uang dan uang. Manusia kita menjadi lebih hedonis. Sulit menilai apakah angpau mereka adalah sebentuk kasih sayang atau tuntutan masyarakat sakit jiwa yang secara tak sengaja memberi label ‘halal’ dari praktek sumbangan acara kondangan. Dan rasanya menyesal tak mampu membagi dan menerapkan idealisme bagi beberapa pihak bahwa, harapan besar seorang mengundang seorang lainnya adalah doa restu. itu sudah lebih dari cukup, itu sudah luar biasa, suatu silaturahim terikat disitu, bukan karena angpau atau kendi-kendi yang dijejerkan di pintu masuk, tapi karena sebentuk harapan tulus untuk kebahagiaan para pengantin.

Mo Ngado Apa ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar