pesta |
Apa yang terpikir jika saya menyebut ‘pesta kawinan?’ Secara jamak pasti kita
terbayang pengantin yang serasi, makanan-makanan mewah, dekorasi yang cantik
dan kebahagian di pelupuk mata dua keluarga. Setidaknya kita sepakat dengan
hal-hal diatas. Begitupula ketika kemarin saya
menemani ayah menghadiri pesta pernikahan anak teman pensiunan kantornya. Seperti biasanya pikiran udik saya yang gampang terpikat dan kagum dengan hal-hal ‘diluar biasanya’, maka pertanyaan pertama saya adalah, dapat orang AU kali ya?-demi melihat tempat resepsi graha dewanto yang tersohor milik TNI-AU di maospati magetan- ehh ternyata bukan mengingat undangan sengaja saya bawa demi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan misalnya harus nunjukin undangan dulu gitu ketika masuk hehe—
menemani ayah menghadiri pesta pernikahan anak teman pensiunan kantornya. Seperti biasanya pikiran udik saya yang gampang terpikat dan kagum dengan hal-hal ‘diluar biasanya’, maka pertanyaan pertama saya adalah, dapat orang AU kali ya?-demi melihat tempat resepsi graha dewanto yang tersohor milik TNI-AU di maospati magetan- ehh ternyata bukan mengingat undangan sengaja saya bawa demi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan misalnya harus nunjukin undangan dulu gitu ketika masuk hehe—
Belum sempet masuk ke hall
resepsi, saya grogi-makluuum udah lama ga datang kondangan
sodara--apalagi ketika melihat ‘betapa wahnya’ resepsi ini, yaa mirip-mirip pesta kawinan Anang-Ashanti
kemarin laah. Suasana temaram syahdu
menghambur ketika masuk ke hall. Seperti sudah dibayangkan sebelumnya,
dekorasinya cantik luar biasa, memadukan gaya minimalis sekaligus mewah.
Patung-patung es,
bunga-bunga asli, wangi, lampu dekoratif yang indah, kursi-kursi dihias cantik
dengan pita dan bunga, padu padannya begitu menyenangkan dilihat. Ayah
sumringah bertemu teman-temannya. Saya hanya mengekor dibelakangnya sambil
celingak-celinguk—selameeet, ada kursinya---batin saya. Setelah bersalaman
sana-sini dengan penerima tamu, keluarga, ayah ibu dan pengantinnya di podium
sejenak saya bimbang. Di sebelah sini kursinya sedikit dibanding dengan disana
tadi. Tapi kami enjoy, ahhh pasti ntar kebagian kursilaah… maka dengan semangat
kami menyendok hidangan lux khas pesta kawinan gedongan.
Disinilah awal permasalahannya. Ketika hendak menuju kursi, kami heran, lhooo, kok ditutup,
terhalang dua container tempat piring. ga bisa lewat sini, coba kesana, lhoo,
ada palangnya. Saya celingak celinguk, baru sadar 100 % semua tamu ini BERDIRI---dan
MAKAN SAMBIL BERDIRI. Astagfirullahhal adziiiim, duh GustiALLOH, paringono
sabaaaaaaarrrrrr. Lhaa, terus kursi-kursi yang sengaja diblok di sudut pintu
itu untuk siapa????? Ternyata-eh ternyata, itu kursi khusus untuk keluarga, SO
WHAT GITULOOH. Maka, yang tadinya kami berselera makan, tiba-tiba saja rasa itu
menguap entah kemana. Dengan hati
sedikit kesal, akhirnya kami makan sambil berdiri.
Dalam hati saya sempat merutuk, apa susahnya sih, nyediain
kursi untuk tamu? Masa menyantap hidanganpun harus berdiri? Kelihatannya aja
mewah, bergaya ala barat yang modern, tapi tidak BERBUDAYA sama sekali. Konsep standing
party ala barat ini benar-benar katrok. Dan kelihatannya bangsa Indonesia
ini telah latah mengejawantahkan sisi modern itu serampangan dalam resepsi. Dan
sama sekali tak ada nuansa ketimuran. Ayah sempat kecewa dan menyatakan
ketidaksukaannya dengan konsep resepsi model barat begitu. Padahal secara kasat
mata si Bapak X ini bertitel haji, tapi kok ya ga ngerti agama bahwa sebagai
seorang muslim, acara makan itu punya adab mulia yaitu DUDUK. Mau-maunya kalah dengan
WOnya, tak punya prinsip. iTu title haji mau dipertanggungjawabkan macam
gimana—rutuk ayah--Saya mengangguk
sepakat. Secara tak sadar, latah budaya
membuat kita menjadi gamang dan kehilangan identitas. Tak ada prinsip atau
idealism yang bisa kita perjuangkan. Secara etika ajalah, kita ini bertamu di
rumah orang, disuguhi makan, tapi masa makannya disuruh sambil berdiri?? Opo
yo pantess.. Kok ya tidak ada adab sama sekali. Sama aja tuan rumah itu
tidak menghormati tamu. Penilaian saya benar-benar berubah 100%. Kita sudah sangat sangat permisif dengan
budaya luar sampai kehilangan idealism dalam berbudaya. Mungkin kecil, hanya
pesta pernikahan, tapi fatal apalagi bagi masyarakat yang ngakunya masyarakat
muslim terbesar di dunia. Tak ada bekas, tak bersisa. Ngenes, basa jawane.
Modern,??mungkin, tapi lebih katrok,
karena ga punya adab, lebih ndeso
daripada acara kawinan nang nDeso. Jadi, masih lebih manusiawi acara
kawinan di desa daripada acara kawinan di kota. secara, beberapa kali saya
datang ke pesta kawinan tetangga masih lebih beradab walau konsepnya diadaptasi
dari standing party. Dan, maka berbahagialah anda ketika bisa menjamu
tamu anda dalam acara pernikahan dengan layak. Ini bentuk penghormatan
bersahaja, sebersahaja ketika anda datang memenuhi undangan. Dan semoga
pesta-pesta pernikahan anda kelak juga lebih bersahaja, memuliakan tamu dengan
cara yang baik, tidak melulu karena gengsi atau ‘wah’. Sediakan tempat duduk
yang layak. Itu lebih baik dan mulia.
Mo Ngado Apa Ya?
Mo Ngado Apa Ya?
maklum orang begitu katro...
BalasHapus