kado
Pusing
dengan undangan pernikahan itu sudah hal biasa. Apalagi jika menyangkut dengan
berapa angpao yang nanti dimasukkan ke kotak sumbangan ketika resepsi. Lebih
lagi jika undangan datang di waktu yang bersamaan atau yaah minimal seminggu
sekali. Tak tau pasti kapan suatu perhelatan pernikahan dimulai dari
mencantumkan gambar kendi di undangan. Seakan sudah menjadi jamak bahwa
ada suatu ‘kewajiban’ datang ke undangan pernikahan itu harus menyiapkan amplop. Semakin tebal semakin baik. Ada rasa canggung jika tidak memberi amplop lebih berarti karena hubungan baik pertemanan atau kerabat. Masa Cuma ngamplop segitu?
ada suatu ‘kewajiban’ datang ke undangan pernikahan itu harus menyiapkan amplop. Semakin tebal semakin baik. Ada rasa canggung jika tidak memberi amplop lebih berarti karena hubungan baik pertemanan atau kerabat. Masa Cuma ngamplop segitu?
Tapi
syukur, masih ada beberapa orang yang sedikit ‘kolot’, menghargai undangan
pernikahan tidak dengan amplop tapi dengan kado. Jika zaman nenek dan bapak
saya, kado itu punya ikatan batin antara pemberi dan penerima, lebih lagi jika
kado itu fungsional dan bermanfaat. Kita
tak pernah tau jika kita benar-benar butuh bukan? Karena itu saya sangat
terkesima ketika menemukan sebuah jam dinding dengan sebuah kartu nama dibaliknya, umurnya
lebih tua dibandingkan umur saya yang hingga saat ini terpajang di dinding
rumah. Jam dinding itu kado seorang teman ayah di pernikahannya.
Bayangkan
saja, jam dinding ini setia menemani
sepanjang usia hidup kami dirumah ini, ikut berpindah dari satu pulau ke
pulau yang lain ketika ayah masih bekerja nomaden. Ia menjadi saksi kami
melewati hari demi hari. Kalo ditengok dengan
logika agama, berapa banyak pahala sudah yang ia kumpulkan dengan
kadonya demi mengingatkan kami akan waktu? Yang pasti tak mampu dihitung
dengan logika matematika.
Maka
sejak itu saya belajar untuk sedikit ‘kolot’ jika tidak benar-benar
terburu-buru, dengan senang hati saya akan berburu kado untuk hadiah
pernikahan. Ternyata kegiatan itu cukup excited. Kado favorit saya untuk
pernikahan tak jauh-jauh dari lingerie
(hihi)-itupun membeli dengan menahan
rasa malu—ahh biar aja—semoga aja kadonya bisa membahagiakan para pengantin
baru (haha). Pernah juga ngado rantang yang saya bungkus dengan sangat artistik
dan penuh cinta untuk kakak kelas saya—mungkin
batin-batin si kakak, ni anak kurang kerjaan—ahh yang penting saya
hepi.
Selain
meninggalkan kesan tak biasa, kado kata ayah saya semacam jadi filosofi ekonomi: minimalisasi anggaran dan
maksimalisasi hasil. Bahasa saya sih: HEMAT. Artinya begini, jika ngado anak pejabat mungkin tak perlu menghabiskan angpau satu
juta karena sungkan dengan jabatan sang pejabat. kado aja tuh kompor gas yang
harganya ga sampai setengah juta. Udah mantap, gede lagi kalo dibungkus hehehe
.Nah jika anda tak segan menghadiahkan kado, mungkin beberapa barang ini bisa
jadi pilihan:
- Jam dinding atau jam meja (awetnya bertahun-tahun)
- Album foto atau pigura (dijamin awet)
- Sprei ( kado favorit
umum menurut survey saya)
- Buku (kado favorit kedua yang umum menurut survey saya)
- Lingerie (kado favorit saya)
- Selimut (trust me its important)
- Handuk (apalagi
yang ini)
- Setrika (ini juga penting)
- Make up set (peralatannya lho bukan make up nya)
- Gelas pasangan atau glass set (lumayan untuk menjamu
tamu)
- Kitchen set ex: piring atau panci (kalo ingin sedikit
repot)
- Dispencer (trust me its usefull)
- Kipas angin (apalagi kalo rumahnya kecil dan ga punya
AC)
- Magic com (its really usefull)
- Kompor gas (lebih baik patungan)
- Kulkas (yang ini sih kalo niat banget dan punya
anggaran lebih hehehe)
- ….. (ide yang lain?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar