25 Juli 2012

Gurih Penthol Mbak Sri

Wanita paruh baya bertubuh gempal berkulit sawo matang terbakar matahari itu mengayuh onthelnya menjurus jam istirahat di sebuah sekolah menengah. Topi biru ciri khasnya yang gampang kuingat itu tampak lusuh menutupi kepala labunya. Gerobak dagangan yang juga berwarna biru
di belakang sadelnya tampak berasap mengeluarkan aroma khas kudapan murah bernama Pentol, saudara kandung jajanan bakso dengan lebih banyak kandungan pati dan penyedap rasa sapi. Jam 09. 00 pagi ini si Mbak Sri memulai rutinitas hariannya yang sangat sederhana, menjajakan pentolnya,kudapan ringan sepanjang jaman, favorit anak-anak sekolah. Kenapa bisa sepanjang jaman?? waktu aku esde, jajanan pentol adalah jajanan favorit anak sekolah, itu 20 tahunan yang lalu, sempat timbul tenggelam, bersaing dengan jajanan sekarang yang lebih instan, kompleks dan kaya variasi serta rasa, tapi kemudian lima tahunan ini Pentol kembali menjadi favorit dan seolah menjadi junk food wajib anak-anak berseragam merah putih sampai abu-abu.

Sebagaimana layaknya orang yang norak, dan ga sopan, aku menyematkan panggilan Pentol dibelakang namanya, selain usianya yang menginjak baya, namun sandang “Mbak”
tetap melekat seperti pati pentolnya. Mbak Sri…. Mbak Sri Pentol demi mengingat begitu banyak nama Sri yang sangat pasaran di lingkungan RT tempat tinggal kami dan bingung membedakan satu Sri dengan Sri yang lainnya. Dan sepertinya kami cukup terbantu dengan profesinya yang berjualan Pentol dalam artian, panggilan profesi itu termasuk yang masih layak dizakati tiap tahunnya.

Kulihat hari ini Mbak  Sri tampak lesu, tidak sumringah seperti biasanya. Harga sembako yang tak menentu tampaknya semakin membuat pusing kepalanya menyiasati dagangan pentolnya. Mau menaikkan harga—kok kaya BBM aja—kasian anak-anak yang jadi langganannya dunk, harus merogoh uang sakunya lebih dalam (termasuk aku hee). Tapi mb Sri tampaknya tak setega itu. Mau rugi sedikit dan pentolnya bakal ga laku, disamping persaingan dengan sesama pedagang pentol yang makin marak, ditambah lagi aturan baru beberapa sekolah yang makin ketat, membatasi anak-anak membeli jajan diluar sekolah sebagai pencegahan mengatasi masalah perut dan kecerdasan intelektual mereka. Ini artinya kemacetan kredit bagi mb Sri, bahkan sesama penjual jajanan sekolah lainnya. Hampir sebagian besar penjaja itu terbang dari satu sekolah ke sekolah lain di jam istirahat demi untuk menggenggam rupiah. Ini adalah jam-jam produktif. Jika beberapa pihak sekolah membatasinya, bagaimana angsuran motor atau cicilan kompor gas mereka??

Semua serba dilematis bagi mb Sri. Dengan fluktuasi penghasilan yang naik-turun hasil berjualan pentol, tetap tak menggenapi dan memberi solusi persoalan keuangan keluarga. Menyiasati campuran tepung, MSG, sedikit daging dan balungan yang menciptakan aroma khas pentol menyisakan derita ekonomis yang hanya bisa untuk menambah modal jualan esok hari. Pati 8 kilo tiap hari tetap tak mampu mendinginkan rasa panas tangan Mbak Sri yang tiap hari menguleni dan membentuk bulat pentol buatannya yang bervariasi dibungkus dengan tahu atau berisi telur puyuh yang lagi-lagi, telur puyuhpun itu harus dibagi menjadi seperberapa bagian untuk menghemat pengeluaran biaya produksi.

Yaaah, Dan pada akhirnya kelesuan Mbak Sri hari ini telah menciptakan bentuk yang lumer dan lembek pada pentol buatannya. Uap yang mengepul beraroma daging sapi itu sedikit menentramkan hati pembeli. Tak peduli semerengut apa wajah Mbak Sri pagi ini, sesendu apa air mukanya, Bagiku, rasanya tetap sama. Sama getirnya dengan perjuangan seorang Mbak Sri membantu menghidupi keluarganya, namun sama gurihnya dengan tawa anak-anak yang menanti jajanan pentol bulat, sebulat kepala-kepala polos mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar