Wanita paruh baya bertubuh
gempal berkulit sawo matang terbakar matahari itu mengayuh onthelnya
menjurus jam istirahat di sebuah sekolah menengah. Topi biru ciri
khasnya yang gampang kuingat itu tampak lusuh menutupi kepala labunya. Gerobak dagangan yang
juga berwarna biru
di belakang sadelnya tampak berasap mengeluarkan aroma khas kudapan murah bernama Pentol, saudara kandung jajanan bakso dengan lebih banyak kandungan pati dan penyedap rasa sapi. Jam 09. 00 pagi ini si Mbak Sri memulai rutinitas hariannya yang sangat sederhana, menjajakan pentolnya,kudapan ringan sepanjang jaman, favorit anak-anak sekolah. Kenapa bisa sepanjang jaman?? waktu aku esde, jajanan pentol adalah jajanan favorit anak sekolah, itu 20 tahunan yang lalu, sempat timbul tenggelam, bersaing dengan jajanan sekarang yang lebih instan, kompleks dan kaya variasi serta rasa, tapi kemudian lima tahunan ini Pentol kembali menjadi favorit dan seolah menjadi junk food wajib anak-anak berseragam merah putih sampai abu-abu.
di belakang sadelnya tampak berasap mengeluarkan aroma khas kudapan murah bernama Pentol, saudara kandung jajanan bakso dengan lebih banyak kandungan pati dan penyedap rasa sapi. Jam 09. 00 pagi ini si Mbak Sri memulai rutinitas hariannya yang sangat sederhana, menjajakan pentolnya,kudapan ringan sepanjang jaman, favorit anak-anak sekolah. Kenapa bisa sepanjang jaman?? waktu aku esde, jajanan pentol adalah jajanan favorit anak sekolah, itu 20 tahunan yang lalu, sempat timbul tenggelam, bersaing dengan jajanan sekarang yang lebih instan, kompleks dan kaya variasi serta rasa, tapi kemudian lima tahunan ini Pentol kembali menjadi favorit dan seolah menjadi junk food wajib anak-anak berseragam merah putih sampai abu-abu.
Sebagaimana
layaknya orang yang norak, dan ga sopan, aku menyematkan panggilan
Pentol dibelakang namanya, selain usianya yang menginjak baya, namun
sandang “Mbak”
tetap melekat seperti pati pentolnya. Mbak Sri…. Mbak Sri Pentol demi mengingat begitu banyak nama Sri yang sangat pasaran di lingkungan RT tempat tinggal kami dan bingung membedakan satu Sri dengan Sri yang lainnya. Dan sepertinya kami cukup terbantu dengan profesinya yang berjualan Pentol dalam artian, panggilan profesi itu termasuk yang masih layak dizakati tiap tahunnya.
tetap melekat seperti pati pentolnya. Mbak Sri…. Mbak Sri Pentol demi mengingat begitu banyak nama Sri yang sangat pasaran di lingkungan RT tempat tinggal kami dan bingung membedakan satu Sri dengan Sri yang lainnya. Dan sepertinya kami cukup terbantu dengan profesinya yang berjualan Pentol dalam artian, panggilan profesi itu termasuk yang masih layak dizakati tiap tahunnya.
Kulihat hari ini Mbak Sri tampak lesu, tidak sumringah seperti biasanya. Harga sembako yang tak menentu tampaknya
semakin membuat pusing kepalanya menyiasati dagangan pentolnya. Mau
menaikkan harga—kok kaya BBM aja—kasian anak-anak yang jadi langganannya
dunk, harus merogoh uang sakunya lebih dalam (termasuk aku hee). Tapi
mb Sri tampaknya tak setega itu. Mau rugi sedikit dan pentolnya bakal ga
laku, disamping persaingan dengan sesama pedagang pentol yang makin marak, ditambah lagi aturan baru beberapa sekolah yang makin ketat, membatasi anak-anak membeli jajan diluar sekolah sebagai pencegahan mengatasi masalah perut dan kecerdasan intelektual mereka. Ini artinya kemacetan kredit
bagi mb Sri, bahkan sesama penjual jajanan sekolah lainnya. Hampir
sebagian besar penjaja itu terbang dari satu sekolah ke sekolah lain di
jam istirahat demi untuk menggenggam rupiah. Ini adalah jam-jam
produktif. Jika beberapa pihak sekolah membatasinya, bagaimana angsuran
motor atau cicilan kompor gas mereka??
Semua serba dilematis bagi mb Sri. Dengan fluktuasi penghasilan yang naik-turun hasil berjualan pentol, tetap
tak menggenapi dan memberi solusi persoalan keuangan keluarga.
Menyiasati campuran tepung, MSG, sedikit daging dan balungan yang
menciptakan aroma khas pentol menyisakan derita ekonomis yang hanya bisa untuk menambah modal jualan esok hari. Pati 8 kilo tiap hari tetap tak mampu mendinginkan rasa panas tangan Mbak Sri yang tiap hari menguleni dan membentuk bulat pentol buatannya yang bervariasi dibungkus
dengan tahu atau berisi telur puyuh yang lagi-lagi, telur puyuhpun itu
harus dibagi menjadi seperberapa bagian untuk menghemat pengeluaran
biaya produksi.
Yaaah, Dan pada akhirnya kelesuan Mbak Sri hari ini telah menciptakan bentuk yang lumer dan lembek pada
pentol buatannya. Uap yang mengepul beraroma daging sapi itu sedikit
menentramkan hati pembeli. Tak peduli semerengut apa wajah Mbak Sri pagi
ini, sesendu apa air mukanya, Bagiku, rasanya tetap sama. Sama getirnya
dengan perjuangan seorang Mbak Sri membantu menghidupi keluarganya,
namun sama gurihnya dengan tawa anak-anak yang menanti jajanan pentol bulat, sebulat kepala-kepala polos mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar