18 Mei 2013

Ratmi


Tuhan memang adil, ’meminjamkan’ tanganNya pada orang-orang  lemah untuk menunjukkan  kekuatan dan kebesaran rahmatNya

braille

Ratmi  namanya. Lima huruf singkat tercatat di contact  ponselku dengan kata depan 'pijat'. Ya, mbak Ratmi adalah seorang tukang pijat-spesialis karena berkebutuhan khusus. Mbak Ratmi tunanetra. Tak bisa melihat sedari kecil. Diusianya yg lewat dari 30 tahun ini, hanya memijatlah kemampuan yang bisa diandalkannya. Mbak Ratmi berperawakan kecil, kurus
kering serta mengenakan kerudung yang kadang mencong kesana kemari.  Penampilan memang bukan segalanya  didukung oleh  pijatannya benar-benar  manthus,manteb kata orang jawa.
Sering ia mengoreksi, apa pijatannya terlalu keras? aku hanya perlu merequest seberapa keras kualitas pijatannya. Mbak Ratmi akan menyesuaikan jemarinya  dan intensitas pijatan tangannya agar konsumen puas. Begitulah.
Disela sesi pijatan itu Mbak Ratmi bercerita tentang hidupnya. Bahwa dari kecil hingga menginjak usia 17 tahun,  ia tak pernah  mengecap bangku sekolah,  belajar bersama teman dan mengenyam pendidikan layak. Ia hanya terlahir di keluarga sederhana yang
memaknai  kekurangan anak bernama Ratmi tak perlu diupayakan untuk menjadi  pintar dan maju. Cukup hidup apa adanya dengan keterbatasan yang dimiliki.  Karena itu ia hanya belajar hal-hal  bersifat domestik, internal rumah tangga hingga hal hal kecil satu dua yg mampu ia lakukan untuk bapak, ibu, kakak dan adiknya.
Suatu hari perpanjangan tangan Dinas Sosial menghampiri rumah orangtuanya, menawarkan pelatihan kemandirian dan pendidikan bagi orang-orang seperti dia. maka,sampailah hidup mbak Ratmi pada tempat bernama Sekolah istimewa bagi siswa berkebutuhan khusus di  Kota Malang Jawa Timur. Ia mulai  belajar membaca  dan menulis dengan huruf braille, belajar mengutak-atik  ponsel  khusus (nokia), belajar  tentang anatomi tubuh manusia, belajar ketrampilan memijat,membuat karya dari benda-benda daur ulang dan beberapa skill yang bisa menjadi bekal kemandiriannya.
Rejeki Tuhan memang Luas. Setelah empat  tahun belajar, ada seorang sejawatnya menawari pekerjaan menjadi  tukang pijat menggantikannya bekerja di penyalur pijat tunanetra di pelosok  kota menengah di Jawa Timur. Karena enggan pulang kerumah dan ingin  pengalaman baru, mbak Ratmi mencoba tawaran itu. Disinilah ia berkiprah  menggunakan ilmu memijatnya dan aku menjadi salah satu pelanggannya.
Tapi begitulah roda rejeki itu berputar selayaknya diatas dan kadang dibawah. Jika permintaan  sedang ramai, dia bisa memenuhi panggilan memijat 3-4  orang  perhari, tergantung request pelanggan yg ingin merasakan pijatannya. Tapi jika sepi  hanya 1-2 orang cukuplah.  Sebenarnya 3-4 orang sehari itu sudah terlalu banyak untuknya karena keterbatasan kemampuan tangannya. Ia pun juga  berbagi rejeki dengan kawan pemijatnya yg lain sehingga kadang menolak  memijat untuk memberi kesempatan kawannya yang lain. Tak sampai disitu. Honor memijatnya yang hanya 30 ribu itu harus dipotong utk biaya akomodasi dan administrasi penyal urnya.  Secara, ia dan rekan-rekannya di penyaluran pijat itu memang  tinggal gratis di tempat penyalur dengan  akomodasi dan  makan.  Setelah dipotong sana –sini ia hanya mengantongi Rupiah 12 ribu  untuk satu kali layanan pijat.
Aku iseng berkelakar, untuk apa uang yang dikumpulkannya itu? Apakah untuk biayanya mudik? Atau untuk menikah? Sambil tertawa ia menjawab bahwa ia jarang sekali  pulang ke rumah. Ia ingin mencari uang sebanyak-banyaknya  untuk mandiri   agar tidak bergantung pada sanak saudaranya. Soal Menikah? Yaah hanya menunggu rejeki dan lampu hijau Gusti Allah katanya.
aah.. mbak Ratmi. Dunia yang keras ini nyatanya membentuk alur hidup  lebih lembut dengan keistimewaan duniamu. Lama tak bertemu, seorang sejawatnya memberitahu mbak Ratmi telah pindah kerja di penyalur pijat yang lain, entah di suatu tempat disuatu kota dengan pengalaman dan petualangan seru  menjadi pemijat.  Semoga saja mbak Ratmi bahagia dengan hidup sederhana yang dijalaninya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar