11 Mei 2013

Road to Madinah ( Part 2)


masjid nabawi


Sejak  kementrian agama membuka peluang  antri  ibadah haji, beramai-ramai orang berbondong-bondong mendaftarkan untuk haji sampai rela antri bertahun-tahun untuk bisa masuk kuota per tahun  yang dijatah pemerintah kita.  Dana talangan haji dimana-mana membuka peluang  orang-orang kecil
bergaji minim-pun bisa mencicil sampai tenggat waktu berangkat  haji yang dijadwalkan.  

 Diantara jeda pro dan kontra tentang boleh tidaknya  pengadaan dana talangan haji serta kajian fiqih tentang anjuran berangkat haji  bagi ‘Yang Mampu”,  ada sebuah  logika sederhana,  dengan masa antrian yang cukup panjang itu sebenarnya mampu untuk ‘memampukan’ yang ‘belum mampu’.  Bahasa sederhananya adalah, dalam kurun waktu sekian dalam kuota haji, orang-orang yang telah berniat pergi haji lebih bersemangat lagi untuk  menggenapi  kewajiban mereka melunasi dana haji. Dan sesudahnya mereka dianggap  sebagai ‘Yang Mampu’. Namun tampaknya kementrian agama cukup kewalahan dengan sistem antrian tersebut  Dan sedihnya, awal tahun 2013  lalu  kementrian agama  berencana menghapus dana talangan haji,  yang sama artinya menghapus mimpi-mimpi seorang muslim bertandang menemui Tuhannya. 


Karena dibatasi oleh pemerintah itulah maka masyarakat Indonesia itu kemudian beralih menyesaki biro-biro travel untuk umroh/ haji kecil. Selain faktor biaya yang lebih murah, waktu yang singkat dan prosedur yang tidak bertele-tele dan yang paling penting, tak perlu nunggu bertahun-tahun maka membludaklah peminat umroh.  Aku jadi mikir mungkin gara-gara para artis yang hobi umroh inilah maka orang beramai-ramai daftar umroh. Secara tidak langsung mereka punya kontribusi untuk mempromosikan ibadah tanah suci. Yahh.. demi melihat scene narsis mereka yang sedang banjir air mata di depan ka’bah,  yang sedang ‘berjuang’ mencium hajar aswat, yang sedang wawancara di dalam bus wisata sambil  bergaya seolah tour guide, yang sedang foto narsis pake kain ihram, yang sedang take gambar masjid nabawi, yang sedang mencicipi kebab, yang sedang makan di hotel, yang sedang belanja, yang berderai-derai , bersemangat menceritakan kesan-kesan baik pengalamannya  sepanjang umroh, de-el-el-de-el-el,-- dan  baik budinya teknologi  yang mampu men-setting  moment perjalanan itu sebagai sesuatu tampilan visual  beradab dan tanpa  malu akan larangan ghibah,  rangkuman perjalanan suci tadi tersaji dalam  cerita gossip bertajuk ‘infotainment’.   Pelajaran berharganya, tayangan haji melalui infotainment ternyata lebih ‘ngena-menelusup diruang hati terdalam’ dibandingkan ceramah-ceramah yang didongengkan para ustad tentang  ‘pergi haji’. 

Bagi sebagian orang, pengalaman plus visualiasiasi yang dibumbui oleh sedikit dramatisasi ‘riya’ hakikatnya lebih tertangkap dialam bawah sadar dibandingkan koar-koar diksi  naïf  serupa imajinasi  yang hanya fiktif mampir di kepala dan telinga jamaah.  Ga usah jauh-jauh, demi melihat kenarsisan si artis A untuk  kedua kalinya pergi umroh beberapa waktu lalu rasanya gemes, iri berlipat-lipat dengan harapan sungguh-sungguh bahwa  aku INGIN KESANA  (lagi), bertolak belakang ketika  mendengar  penceramah, “ ibu-ibu, bapak-bapak,  sholat di masjid nabawi itu  lebih utama 1000 kali lipat. Sholat  di masjdil haram itu rasanya luar biasa.  Maka  semoga  bapak-bapak –ibu-ibu  dimudahkan  semua naik haji, naik umroh… aminnnnn…” dan selepas itu  energi  ceramah itu menguap entah kemana.

Road to Madinah (Part 1)Road to Madinah (Part 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar