kertas-kertas |
Menyusun
tugas akhir merupakan momok yang mengesalkan bagi mahasiswa. Tak terkecuali
saya. Sebagai mahasiswa yang sudah
kepalang tanggung ga pantes jadi mahasiswa saking abadinya menempuh studi dan
tak patut untuk dijadikan contoh, menuntaskan kewajiban ini benar-benar menyita
waktu dan butuh perjuangan dan semangat panjang yang kadang fluktuatif. Nah,
Ketika bersemangat disuatu waktu proses akhir pembahasan penyusunan tugas akhir—terus
terang ini hal yang amat sangat menyebalkan untuk saya lakukan=membuat print
out ketikan. Mengapa? Karena
ujungnya saya akan sedikit menyesal,
berapa jumlah kertas yang akan saya habiskan? Kurang lebih 230 halaman A4.
Ga
perlu heran,itu jumlah halaman terminim dan tertipis,masih kalah dengan
beberapa orang teman angkatan saya yang bahkan
hampir 500 halaman. Saya kadang mikir, nulis apaan ya, tugas akhir setebal itu.
Persoalannya yang membuat saya sedikit kesal adalah dengan aturan baku
penulisan tugas akhir yang rata-rata bernada sama. Ini contoh kutipannya:
Batas tepi (margin)
a.Tepi atas : 4 cm.
b.Tepi bawah : 3 cm.
c.Tepi kiri : 4 cm.
d.Tepi kanan : 3 cm.
Spasi bagian awal,
bagian isi, dan bagian akhir
Bagian isi karya
ilmiah
meliputi Bab I sampai
BAB V, disusundengan menggunakan spasi ganda.
saya coba menggaris bawahi awal persoalan yang
membuat kesal. Betapa tidak, aturan penulisan karya ilmiah bagian isi disusun
dengan menggunakan spasi ganda, bisa anda bayangkan betapa borosnya seorang
mahasiswa menggunakan kertas untuk
mencetak karya ilmiahnya. Taruhlah contoh aturan baku ini diberlakukan
untuk semua progam D3/S1/S2/S3 di UGM saja, dengan perhitungan kasar tiap tahun
kampus ini meluluskan 4800 mahasiswa S1/D3 (dengan asumsi penyelenggaraan wisuda
4x/tahun), untuk S2/S3 sebanyak 3200 mahasiswa (dengan asumsi penyelenggaraan wisuda
4x/tahun), maka jika rata-rata mahasiswa S1/D3 menulis karya ilmiah sebanyak
100 lembar dan digandakan 5 kali hasilnya, dalam setahun mereka menghabiskan
2.400.000 lembar kertas.
Untuk mahasiswa pasca lain lagi. Jika rata-rata 3200
mahasiswa itu menulis karya ilmiah 250 lembar dan digandakan 5 kali, hasilnya
dalam setahun mereka menghabiskan 4.000.000 lembar kertas. Sekarang, hanya satu
kampus saja totalnya 6.400.000 lembar kertas yang dipakai dalam setahun untuk
menulis karya ilmiah. Bagaimana seribu kampus lainnya di jogja?bagaimana juga
kalo seindonesia? Kita berangan lagi. Jika kertas yang kita gunakan ini berasal
dari pohon, dan dari satu pohon itu dapat menghasilkan kertas 15 rim (1 rim=500
lembar) atau sebanyak 7500 lembar. Maka, untuk memenuhi hajat para mahasiswa di
UGM ini,kita harus menebang pohon sebanyak 854buah/tahun. Ini baru satu kampus.
Bagaimana seribu kampus yang lain? Tak dinyana, perilaku boros kita terhadap penggunaan kertas justru paling
banyak dari kalangan akademis intelektual. Tanpa sadar, kitalah sebab utama deforestasi
dan bisa jadi perilaku para illegal logging yang marak diluar sana adalah
karena kita juga. Fakta bahwa saat ini di Indonesia diketahui telah terjadi
kerusakan hutan yang cukup parah.
Bahkan berdasarkan data statistik
kehutanan, luas hutan Indonesia telah menyusut dari 130,1 juta ha (67,7 % dari
luas daratan) pada tahun 1993 menjadi 123,4 juta ha (64,2 % dari luas daratan)
pada tahun 2001. Penyusutan ini disebabkan oleh penjarahan hutan, kebakaran,
dan konversi untuk kegiatan lain seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan
permukiman. Sekitar 35 % dari hutan produksi tetap seluas 35 juta ha juga rusak
berat. Hutan yang dapat dikonversi kini tinggal 16,65 juta ha.
Apabila dengan
laju konversi tetap seperti saat ini maka dalam waktu 25 tahun areal hutan
konversi akan habis. Saat ini laju deforestasi hutan Indonesia diperkirakan
sekitar 1,6 juta hektar per tahun (Dephut, 2009). Dengan kerusakan seperti
tersebut diatas, tentu saja proses penyerapan karbondioksida (CO2) tidak dapat
optimal. Jika vegetasi berkurang, sedangkan emisi CO2 terus meningkat, maka
jelas akan mengakibatkan peningkatan CO2 dalam atmosfer yang tidak terkendali
(Lakitan, 1994).
So, sekarang pantaskah kita masih berkoar-koar menuding pihak satu-pihak dua sebagai penyebab
kerusakan hutan sedangkan kaum intelektual itulah sumber utama masalah
kerusakan hutan? Karya ilmiah adalah bagian dari sebuah cara bijak menemukan
sebuah solusi, namun jika prosesnya ini
menimbulkan masalah lain yang berantai, sama artinya bahwa kita tak punya
pertanggungjawaban intelektual. Karya ilmiah kita mungkin lebih baik didaur
ulang. Suatu saat saya berharap Jika
saja sistem sekecil ‘penulisan karya ilmiah’ ini bisa diatur secar bijak, ini luar biasa
artinya, setidaknya, inilah karya ilmiah terbesar kita, para kaum intelektual terhadap kelestarian alam dan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar