19 Oktober 2013

Serabi Kuah dalam Sahaja

Serabi Kuah cap Kediri

Sahaja dalam Semangkok  Serabi-Pertholo
Hari itu adalah pagi yang menyenangkan untuk selayang pandang  mengunjungi Pasar Bandar, Pasar  legendaris yang menjadi favoritku berburu kuliner  lokal semenjak kecil di  Kota Kediri yang terletak di pinggir Kali Brantas. Betapa tidak, ketika melewati  area parkiran dalam pasar, mataku tertumbuk pada gerobak jajanan seorang pedagang yang menjual jajanan tradisonal kue Serabi  dan Pertholo. Ya, serabi dan pertholo, kue khas jajanan tempo dulu yang makin langka dan jarang ditemui  saat ini.
Jajanan yang diolah dari tepung beras itu memiliki cita rasa gurih, empuk nan legit. Tidak seperti serabi kering yang familiar seperti serabi solo atau serabi tungku yang banyak dijual di pasar tradisional, serabi kinca, demikian nama kudapan khas ini tak lagi banyak peminatnya karena sajiannya yang cukup merepotkan dengan adanya kinca (kuah manis  dari santan dan gula merah).  Namun si pejual serabi, seorang lelaki baya sederhana  ini ternyata  tak kalah cerdas mampu menyiasati serabi ini dengan membungkus serabi kinca
dalam plastik dan memisahkan kuahnya.
Sebagai kudapan ringan, semangkok serabi kinca tempo dulu adalah makanan andalan untuk merayu anak-anak yang sulit makan. Aku ingat, waktu kecil jika tak doyan makan, baik ibu dan si Mbah Putri dengan senang hati akan mencekokkan serabi kinca untuk  sarapan pagi atau kudapan . Kandungan karbohidrat yang sarat dalam serabi  telah banyak memenuhi kebutuhan  energi tubuh seorang anak di waktu itu.  Dan yang paling penting, mengenyangkan.  Aroma gosong dan lembut yang menggoda, Ditambah lagi kuah santannya yang  gurih, manis karena tambahan gula merah, potongan nangka  serta harum pandan simpul. Dan semua disajikan hangat, baik untuk perut
.
Serabi Kuah dan Pertholo yang Hangat
Saking langkanya pedagang yang khusus menjual kudapan ini, maka ketika menemukan gerobak serabi  itu serasa mengobati kerinduan menyantap kuliner khas masa kecilku. Ditambah lagi, Serabi dalam gerobak si bapak penjual ternyata bersanding  dengan Pertolo, kudapan sejenis dari tepung beras  ketan yang diberi pewarna  hijau atau merah dan dibentuk  panjang seperti mi/bihun basah yang kemudian digulung serta penyajiannya dengan kuah santan panas beraroma pandan. Umumnya dulu Pertholo dijajakan ketika malam hari untuk menghangatkan tubuh dan kudapan ini ternyata hanya kutemui di daerah pedalaman di Jawa Timur.
Ditengah bombardir serangan kuliner serba baru , makanan ’ndeso’ seakan kalah  dengan kreativitas manusia modern yang  memperkaya cita rasa Serabi  sebagai ’pancake’ masa kini dengan sentuhan  industri kuliner kreatif yang  lebih ’menjual’. Sehingga antara sadar  dan tidak sadar  kebanyakan jajanan khas seperti serabi  ini  justru telah kehilangan identitas, kehilangan sahaja.  Penambahan bermacam topping yang hampir semuanya beradaptasi dengan citarasa kuliner modern dan asing telah mengkorosi  indera perasa orisinil  kita, sehingga  tak mampu lagi mengecap rasa sahaja dari semua proses tradisional, kultur penyajian dan  filosofi  tampilan yang ditunjukkan  oleh kue serabi masa lalu. Sehingga, serabi masa kini hanyalah sebagai evolusi kuliner yang kering sejarah puas  tersaji  hambar  di meja-meja kafe dan resto-resto modern, cukup untuk membuat perut kenyang. Tak lebih.
Namun di pelosok sana, dibelahan bumi Indonesia yang lain  segelintir orang  masih meyakini bahwa keluhuran budaya  mampu terwakili oleh kehangatan Serabi kinca dan Pertholo, dan mereka adalah para manusia dari masa lalu yang masih bergelut dengan tradisi memegang orisinilitas rasa, menghadirkan kembali sahaja dari Serabi itu. Tanpa eksperimen, tanpa inovasi, tanpa modernitas rasa,  apa adanya. Sebagaimana juga aku mengenang serabi kinca dulu menjadi bagian dari menu terlezat kanak-kanakku, menu andalan orangtua, tanpa pewarna buatan, pemanis buatan, serabi adalah representasi masa lalu, sebuah nostalgia  yang tak lekang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar