Serabi Kuah cap Kediri |
Sahaja dalam
Semangkok Serabi-Pertholo
Hari itu adalah pagi yang menyenangkan untuk
selayang pandang mengunjungi Pasar Bandar,
Pasar legendaris yang menjadi favoritku
berburu kuliner lokal semenjak kecil
di Kota Kediri yang terletak di pinggir
Kali Brantas. Betapa tidak, ketika melewati
area parkiran dalam pasar, mataku tertumbuk pada gerobak jajanan seorang
pedagang yang menjual jajanan tradisonal kue Serabi dan Pertholo. Ya, serabi dan pertholo, kue
khas jajanan tempo dulu yang makin langka dan jarang ditemui saat ini.
Jajanan yang diolah dari tepung beras itu
memiliki cita rasa gurih, empuk nan legit. Tidak seperti serabi kering yang
familiar seperti serabi solo atau serabi tungku yang banyak dijual di pasar
tradisional, serabi kinca, demikian nama kudapan khas ini tak lagi banyak
peminatnya karena sajiannya yang cukup merepotkan dengan adanya kinca (kuah
manis dari santan dan gula merah). Namun si pejual serabi, seorang lelaki baya
sederhana ini ternyata tak kalah cerdas mampu menyiasati serabi ini dengan
membungkus serabi kinca
dalam plastik dan memisahkan kuahnya.
Sebagai kudapan ringan, semangkok serabi
kinca tempo dulu adalah makanan andalan untuk merayu anak-anak yang sulit
makan. Aku ingat, waktu kecil jika tak doyan makan, baik ibu dan si Mbah Putri
dengan senang hati akan mencekokkan serabi kinca untuk sarapan pagi atau kudapan . Kandungan karbohidrat
yang sarat dalam serabi telah banyak
memenuhi kebutuhan energi tubuh seorang
anak di waktu itu. Dan yang paling
penting, mengenyangkan. Aroma gosong dan
lembut yang menggoda, Ditambah lagi kuah santannya yang gurih, manis karena tambahan gula merah,
potongan nangka serta harum pandan
simpul. Dan semua disajikan hangat, baik untuk perut
Saking langkanya
pedagang yang khusus menjual kudapan ini, maka ketika menemukan gerobak
serabi itu serasa mengobati kerinduan
menyantap kuliner khas masa kecilku. Ditambah lagi, Serabi dalam gerobak si
bapak penjual ternyata bersanding dengan
Pertolo, kudapan sejenis dari tepung beras
ketan yang diberi pewarna hijau
atau merah dan dibentuk panjang seperti
mi/bihun basah yang kemudian digulung serta penyajiannya dengan kuah santan
panas beraroma pandan. Umumnya dulu Pertholo dijajakan ketika malam hari untuk
menghangatkan tubuh dan kudapan ini ternyata hanya kutemui di daerah pedalaman
di Jawa Timur.
Ditengah
bombardir serangan kuliner serba baru , makanan ’ndeso’ seakan kalah dengan kreativitas manusia modern yang memperkaya cita rasa Serabi sebagai ’pancake’ masa kini dengan
sentuhan industri kuliner kreatif
yang lebih ’menjual’. Sehingga antara sadar
dan tidak sadar kebanyakan jajanan khas seperti serabi ini justru telah kehilangan identitas, kehilangan
sahaja. Penambahan bermacam topping yang
hampir semuanya beradaptasi dengan citarasa kuliner modern dan asing telah
mengkorosi indera perasa orisinil kita, sehingga tak mampu lagi mengecap rasa sahaja dari
semua proses tradisional, kultur penyajian dan
filosofi tampilan yang
ditunjukkan oleh kue serabi masa lalu.
Sehingga, serabi masa kini hanyalah sebagai evolusi kuliner yang kering sejarah
puas tersaji hambar di meja-meja kafe dan resto-resto modern,
cukup untuk membuat perut kenyang. Tak lebih.
Namun di pelosok
sana, dibelahan bumi Indonesia yang lain
segelintir orang masih meyakini
bahwa keluhuran budaya mampu terwakili
oleh kehangatan Serabi kinca dan Pertholo, dan mereka adalah para manusia dari
masa lalu yang masih bergelut dengan tradisi memegang orisinilitas rasa,
menghadirkan kembali sahaja dari Serabi itu. Tanpa eksperimen, tanpa inovasi,
tanpa modernitas rasa, apa adanya.
Sebagaimana juga aku mengenang serabi kinca dulu menjadi bagian dari menu
terlezat kanak-kanakku, menu andalan orangtua, tanpa pewarna buatan, pemanis
buatan, serabi adalah representasi masa lalu, sebuah nostalgia yang tak lekang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar